Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya Konferensi Kependudukan Dunia (ICPD) di Cairo pada tahun 1994 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), membahas kompleksitas hubungan antara kebutuhan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan serta kebijakan kependudukan an pembangunan pada tingkat global. Dari sini, ditemukan adanya paradigma baru tentang kesehatan reproduksi yang memberikan perhatian pada subordinasi perempuan dan bertujuan meningkatkan status perempuan agar pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.
Pada makalah ini ada beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia untuk menguak permasalahan kesehatan reproduksi perempuan dan mencoba mencari solusinya. Pengalaman di Indonesia menyebutkan bahwa perempuan tidak mudah menuntut hak-hak seksual dan reproduksi dalam lingkup rumah tangga apabila mereka tidak memiliki kekuasaan dalam lingkup social yang luas. Salah satu contoh adalah budaya patriarki Batak di Sumatera Utara, dimana perempuan sangat tersubordinasi pada laki-laki. Bahkan ketika pengambilan keputusan apakah perempuan tersebut menginginkan untuk melakukan hubungan seks, memakai pengaman (kondom) untuk mencegah penularan PMS serta AIDS, perempuan Indonesia cenderung tidak berani mengkomunikasikannya dengan sang suami. Sehingga upaya apapun untuk memberikan tambahan pengetahuan mereka terkait dengan penyebaran PMS dan AIDS akan termentahkan karena perempuan tersebut tidak mampu menyampaikannya pada suami.
Seringkali program-program kesehatan reproduksi tersebut dianggap bertentangan dengan kajian teologis. Padahal, jika mau mengkaji lebih jauh dalam ajaran Islam, bahwa perempuan sangat dihargai dan dilindungi dalam setiap hukumyang diterapkan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (pernikahan). Akhirnya para perempuan ini meminta LSM yang memberikan mereka penyuluhan, juga memberikan pengertian pada suami mereka, dengan pertimbangan bahwa tetap saja pengambil keputusan dalm keluarga ada pada suami mereka.
Namun, di lain pihak banyak yang memperdebatkan bahwa mengubah hubungan jender pada tingkat rumah tangga, khususnya mengenai persoalan hubungan seks jauh lebih sulit dibandingkan mengubah hubungan jender pada tingkat masyarakat. atau bisa jadi program kesehatan reproduksi yang menitikberatkan pada perempuan gagal karena kurangnya perhatian pada pihak laki-laki yang dianggap sebagai penentu kebijakan dalam keluarga.
Kemudian sasaran program diubah. Yaitu dengan pengenalan alat kontrasepsi pada laki-laki (kondom dan vasektomi) yang telah dirintis sejak 1970-an. Partisipasi laki-laki diharapkan dapat mendukung program kesehatan reproduksi keluarga. Ini dianggap sebagai kunci keberhasilan progam tersebut, karena ada anggapan bahwa sebenarnya untuk mensukseskan program ini, perempuan tidak perlu dilibatkan banyak, karena laki-laki disini masih memegang keputusan, apakah program ini dapat dilakukan dalam keluarga mereka. Sehingga program dialihkan focus pada kaum laki-laki.
Ternyata dibalik ide besar itu, kita dihadapkan lagi dengan problem, bahwa program tersebut justru memperkuat ketidaksetaraan jender. Dimana para istri menjadi sangat tidak diliatkan dalam pengambilaj keputusan terkait dengan masalah reproduksi. Para perempuan justru menjadi cemas, karena mengkhawatirkan suaminya akan menyeleweng ketika mereka berada di luar rumah, karena merasa ‘aman’ dari penyebaran PMS dan AIDS. Dua hal yang bertentangan namun dapat terjadi beriringan. Seperti dua koin yang memiliki satu sisi baik dan sisi yang lainnya buruk. (more……)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be honestly OK :D