Pada umumnya, selang periode perombakan yang tergolong cukup pesat ini bukan hanya berpengaruh pada kehidupan masyarakat tapi juga sangat mengancam para generasi muda. Mulai saat ini bahkan untuk masa yang akan datang, ternyata Indonesia masih dapat dipastikan akan mengalami siklus kemunduran akhlak dan jati dirinya sendiri sebagai suatu bangsa dalam negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Intelektualitas yang ditunjang dengan tingginya sumber daya manusia bahkan tidak memberikan andil yang cukup dalam menyelesaikan konflik tersebut karena hampir 83 % masyarakat Indonesia masih jauh dari keseimbangan ESQ (Emotional Spiritual Questions) mereka sendiri terlebih mereka masih belum memiliki pondasi yang cukup kuat dalam mengemban tugas sebagai anak bangsa. Sementara itu, krisis moral dan etika bangsa sudah bersiaga menjemput bahkan merenggut para kader bangsa baik yang berkualitas, berpotensi, maupun ber-SDM rendah sekalipun. Kalau diibaratkan buku, semakin sering bangsa Indonesia mulai membalik halaman baru maka semakin besar pula mereka akan melupakan bahkan menyobek dasar ilmu terdahulu. Walaupun di luar harapan tapi inilah realita yang terjadi, kenyataan ini semakin tergambar jelas dengan minimnya sensitivitas dan keaktifan masing-masing individu terutama dalam menyumbangkan solusinya terhadap pemasalahan bangsa dan negara. Hal tersebut juga diakibatkan oleh tipisnya pengendalian diri sehingga tidak jarang sikap anarki dan acuh tak acuh pun ikut mewarnai klimaks berkepanjangan ini. Padahal “perbuatan anarki terjadi bukan karena tidak adanya hukum ataupun peraturan yang menaunginya, melainkan itu dikarenakan hukum maupun peraturan sendiri yang sudah tidak berlaku lagi”.
Roda jaman terus berputar dan Indonesia masih tetap mengambang dalam buaian ketidakpastian. Faktor inilah yang menyebabkan kemunculan dan penyebaran racun dalam pengkaderisasian bangsa, mulai dari penyebaran aliran yang menyimpang dari kaidah yang ada (contoh: aliran Al Qiyadah) juga semakin menonjolnya diferensiasi antara orang kaya dan fakir miskin sehingga kesenjangan sosialpun semakin tak terelakkan lagi. Menilik dari ketidak kondusifan situasi tersebut, puncak kestabilan pun sering dipertanyakan. Bahkan, saat ini program pemerataan sosial pun malah tergantikan oleh pemerataan kemiskinan dan penyerapan budaya asing yang saling tumpang tindih karena jika diprosentase hampir dua dari 5 orang saja yang menikmati hasil pembangunan nasional. Jamrud kebanggaan bumi pertiwi ini seakan mulai meluntur dan nyaris menjadi kenangan kelam masa lalu, terlebih bagi westernisme.
Dinamika masa yang semestinya menuju suatu kebangkitan dan kemajuan malah menjadi bumerang tajam bagi kemadanian masyarakat Indonesia sendiri. Perubahan pola pikir yang cenderung meninggalkan jati diri negara yang ber-Bhineka Tunggal Ika menjadi salah satu tindak lanjut dari sebuah ancaman dan walaupun demikian masyarakat terutama generasi kebanggaan bangsa malah memaklumi dan mulai kebal akan rekayasa jati dirinya sendiri. Salah satunya contohnya yaitu dengan masih seringnya demo masal yang sangat tidak bertanggungjawab dan hal ini dirasa sudah cukup dalam menjadi cerminan diri yang sudah mulai tersisihkan. Imitasi yaitu meniru penokohan, penampilan, termasuk perbuatan orang lain merupakan hal yang sangat mengecewakan, menyiksa, dan tidak lebih baik dari menjadi diri sendiri (to be someone else not better than to be your self).
Sumber utama masalah beruntun ini hanyalah soal seberapa besar tingkat kesadaran setiap individu sebagai salah satu pondasi utama kemajuan negaranya. Dengan itu, asumsi masyarakat tentang kekurang-tanggapan pemerintah dalam menanggapi dan memberikan solusi atas semua kejadian yang dapat tergolong investasi awal bencana ini, salah sasaran dan dapat terbantahkan. Hal tersebut didasarkan karena yang seharusnya dan sepantasnya bertanggung jawab terhadap kerasnya lajur mobilisasi benih-benih negatif sampai masuk sebagai input Indonesia bukan hanya aparat pemerintah pusat maupun daerah, melainkan juga masyarakat terutama sebagai perwujudan warga negara yang cinta tanah air. Dengan bermodalkan persatuan dan keteguhan dari keyakinan unity tersebut, masyarakat sangatlah dituntut berpartisipasi aktif dan kritis bersama pemerintah dalam mewujudkan stabilitas dan tujuan nasional pada umumnya serta meningkatkan kesadaran setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada khususnya dengan selalu menggenggam erat kebanggaan akan keragaman-keragaman berbangsa terutama senantiasa bersyukur karena telah menjadi salah satu bagian dari suatu bangsa negara Indonesia.
by : Budi Eko Siswoyo as q_light
jangan melihat apa yang negara berikan kepadamu, tapi lihatlah apa yang telah kamu berikan kepada negara itu... ^_^
BalasHapussip, thanks yow :D kata2 kamu bisa menjadi motivasi kita sebagai generasi muda...
BalasHapusshow our spirit guys, OK :D