ShoutMix chat widget

INFO PENERIMAAN MAHASISWA BARU 2010/2011

@ AKADEMI KEBIDANAN YOGYAKARTA (01 Februari s.d 23 Agustus 2010)
@ INSTITUT SAINS TERAPAN DAN TEKNOLOGI SURABAYA (online)
@ INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
> Gelombang I (Mei s.d Juni 2010)
> Gelombang II (Juli 2010)
@ INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG (online)
@ INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER (04 Januari s.d 02 April 2010)
@ SEKOLAH TNGGI INFORMATIKA & KOMPUTER INDONESIA
@ SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN TRANSPOR TRISAKTI (online)
@ STIKES SANTO BORROMEUS
> Gelombang Ia (02 November 2009 s.d 12 Maret 2010)
> Gelombang Ib (13 Maret s.d 27 Mei 2010)
> Gelombang II (31 Mei s.d 16 Juli 2010)
> Gelombang III (19 Juli s.d 12 Agustus 2010)
@ STIKS TARAKANITA (01 September 2009 s.d 31 Juli 2010)
@ UNIVERSITAS AIRLANGGA (sudah dibuka 0_0)
@ UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA
> Jalur Ranking (01 September 2009 s.d 30 April 2010)
> Jalur Rapor (01 September 2009 s.d 30 April 2010)
> Jalur NEM (01 Juni 2010 s.d 31 Juli 2010)
> Jalur Non Akademik (01 September 2009 s.d 29 Januari 2010)
> Jalur Antara (01 September 2009 s.d 29 Januari 2010)
> Jalur Kerja Sama (01 September 2009 s.d 29 Januari 2010)
> Jalur Reguler Periode I (03 Mei s.d 11 Juni 2010), Periode II (14 Juni s.d 09 Juli 2010), Periode III (12 Juli s.d 06 Agustus 2010)
> Jalur PSSB (02 Nopember 2009 s.d 29 Januari 2010)
> Jalur Beasiswa (akan diinformasikan)
@ UNIVERSITAS GUNADARMA (daftar online)
@ UNIVERSITAS INDONESIA (donwload info rev 1.1)
> PPKB (November 2009), SIMAK (11 April 2010), KSDI (15 Mei 2010), Prestasi (15 Mei 2010)
@ UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA (01 Desember 2009 s.d 04 Agustus 2010)
@ UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
> Penelusuran Bibit Unggul Daerah (01 Februari s.d 30 April 2010)
> Ujian Masuk Jalur Mandiri (19 Juli s.d 30 Juli 2010)
@ UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (on site)
@ UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
> USM I (17 Desember 2009 s.d 26 Januari 2010)
> USM II (07 Februari s.d 04 Mei 2010)
> USM III (17 Mei s.d 20 Juli 2010)
@ UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
> Jalur Prestasi Tahap I (01 September s.d 30 Oktober 2009), Tahap II (02 Nopember 2009 s.d 04 Januari 2010), Tahap III (18 Januari s.d 26 Februari 2010), Tahap IV (01 Maret s.d 16 April 2010)
> Jalur Kerja Sama (15 Februari s.d 05 Maret 2010)
> Jalur Reguler Gelombang I (03 Mei s.d 18 Juni 2010), Gelombang II (21 Juni s.d 16 Juli 2010), Gelombang III (19 Juli s.d 03 Agustus 2010)
@ UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA (September 2009 s.d April 2010)
> Jalur Penelusuran Prestasi Siswa
> Jalur Penulusuran Potensi Akademik Siswa
@ UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
> Jalur Tanpa Tes (14 September 2009 s.d 30 Juni 2010)
> Jalur Tes Gelombang I (29 Mei 2010), Gelombang II (10 Juli 2010)
> Jalur Tes Harian (01 April s.d 13 Agustus 2010)
@ UNIVERSITAS MEDAN AREA (mulai Juni 2010)
@ UNIVERSITAS PAKUAN
> Gelombang I (05 Januari s.d 20 Mei 2010)
> Gelombang II (24 Mei s.d 03 Juli 2010)
> Gelombang III (05 Juli s.d 07 Agustus 2010)
@ UNIVERSITAS PANCASILA
> Gelombang I (09 November 2009 s.d 27 Maret 2010)
> Gelombang II (28 Maret s.d 25 Juni 2010)
> Gelombang III (26 Juni s.d 20 Agustus 2010)
@ UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
> Jalur Prestasi Periode V (04 s.d 30 Januari 2010), Periode VI (01 Februari s.d 27 Februari 2010), Periode VII (01 Maret s.d 20 Maret 2010), Periode VIII (22 Maret s.d 22 April 2010)
> Jalur Tes (01 September 2009 s.d 23 April 2010)
> Jalur Reguler Gelombang I (03 Mei s.d 04 Juni 2010), Gelombang II (07 Juni s.d 01 Juli 2010), Gelombang III (05 s.d 29 Juli 2010)
@ UNIVERSITAS SURABAYA (30 November 2009 s.d 19 Januari 2010)
@ UNIVERSITAS TARUMANEGARA (s.d Agustus 2010) DOWNLOAD
@ UNIVERSITAS TRISAKTI (online)

Rabu, 07 Juli 2010

POSYANDU : PARTISIPASI atau KEPATUHAN MASYARAKAT ??

Gambaran Umum Masalah

Ø Pembagian tugas antar kader dan staf puskesmas dalam pelaksanaannya masih terbalik

Ø Jadwal posyandu masih ditentukan oleh pihak puskesmas

Ø Birokrasi informasi pelaksanaan program pelayanan kesehatan masih berbelit-belit sehingga masyarakat tidak mengetahui tujuan posyandu

Ø Disfungsi kader terpilih

Ø Partisipasi aktif kader hanya untuk mencari popularitas di mata masyarakat

Ø Tenaga kesehatan memandang tidak ada gunanya melatih calon kader karena tidak menjamin bahwa kader yang dilatih akan membantu mereka dalam jangka waktu yang cukup berarti

Ø Kader hanya sebagai formalitas saja

Ø Petugas kesehatan tidak memahami pokok permasalahan sebenarnya sehingga langsung men-judge secara sepihak

Ø Program posyandu yang dianggap penting oleh masyarakat mendapat perhatian lebih, sedangkan yang tidak penting akan mereka abaikan

Masalah secara Spesifik

Ø Faktor Personal

1. Kader

§ Kurang bisa mempengaruhi masyarakat

§ Kurang pengetahuan

§ Tingkat kepedulian masih rendah

§ Kesibukan kader di aktivitas yang lain

2. Tenaga Kesehatan

§ Kurangnya kompetensi untuk melakukan pelatihan ke kader

§ Merasa benar sendiri

§ Menganggap kader sebagai formalitas

3. Masyarakat

§ Kurang peduli (menganggap kurang penting)

§ Punya kesibukan sendiri

§ Lebih percaya pada mitos daripada pengetahuan medis

§ Tidak merasa memiliki posyandu

§ Merasa bahwa kader bukan merupakan sosok panutan mereka

Ø Faktor Lingkungan

1. Budaya masyarakat sekitar

2. Mitos di masyarakat

3. Kebijakan puskesmas/pusat tentang perekrutan kader dan tenaga kesehatan yang berkompetensi

4. Dukungan perangkat desa

5. Keengganan tokoh masyarakat kunci untuk datang karena kader terkadang bukan panutan

6. Kader terpelajar sulit direkrut dalam jangka waktu yang lama

7. Tingkat ekonomi kader tergolong menengah ke bawah

Ø Faktor Perilaku

1. Masyarakat enggan berinteraksi dengan tenaga kesehatan dan enggan kembali lagi sehingga tidak terjadi interaksi yang kontinu

2. Kurangnya pelatihan kader secara kontinu

more (….) <DOWNLOAD> selengkapnya

NAKES TERPERANGKAP DALAM KONFLIK TRADISI PENGOBATAN TRADISIONAL YANG BERBEDA

          Pasien diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori berdasarkan kelas sosial ekonomi dan tingkat pendidikan sebelum dihubungkan dengan pola perilaku pemikiran tertentu. Pasien dari tingkat social ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi, lebih mendukung tradisi biomedis. Sementara sebaliknya, pasien dari tingkat social ekonomi dan pendidikan rendah lebih mendukung atau memilih pegobatan tradisional. Di samping itu, pada kenyataannya pasien memiliki bermacam-macam perasaan terhadap pengobatan yang diterimanya, mulai dari pengobatan biomedis sampai pada pengobatan tradisional, sehingga masyrakat terkesan barganti-ganti dalam mengambil teknik pengobatan untuk dirinya. Hal itu diperkuat oleh Studi masyarakat Hausa di Nigeria Utara yang menunjukkan bahwa “ketidaktauan” merupakan aspek yang penting dari pengetahuan dan praktek pengobatan terhadap pasien yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

          Didasarkan atas observasi, bahwa tenaga kesehatan di daerah pedesaan Jawa Tengah menghadapi tradisi pengobatan lainnya dengan sikap dualisme. Dalam kehidupan profesional, mereka menentang segala bentuk integrasi dengan pengobatan tradisional. Namun, dalam lingkup pribadi mereka dengan mudah memanfaatkan jenis-jenis pengobatan tradisional. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketidak konsekuensian dan ketidaksinkronan pada tenaga kesehatan ketika menerapkan prinsip pengobatan di masyarakat.

          Kebanyakan tenaga kesehatan, para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya di Jawa Tengah menyadari kalau pelayanan yang mereka berikan kepada mayarakat hanyalah satu di antara banyak alternatif yang dapat dipilih oleh masyarakat. Di samping pengobatan medis, di sana pun tersedia pengobatan tradisional Jawa, baik berupa pengobatan melalui perantara dukun maupun pengobatan dengan ramuan jawa. Di antara banyaknya tersebut, petugas tenaga kesehatan beranggapan praktek-praktek pengobatan Jawa tradisional hanya cocok untuk masyarakat “tidak maju” tertinggal dalam arus modernisasi yang belum bisa menghargai manfaat tradisi biomedis. Mereka sepakat bahwa praktek tersebut tidak ada gunanya dan merupakan peninggalan jaman dulu. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka menganggap salah satu pengobatan tradisional, yaitu pengobatan ke dukun bayi adalah hal yang bodoh dan hanya dilakukan oleh “orang yang bodoh’. Berikut adalah cuplikan kalimat seorang bidan yang menanggapi tentang pengobatan ke dukun bayi. “Saya pernah melihat seoranga anak mati karena dukun bayinya tidak menggunakan alat yang steril. Seluruh badannya membiru. Kami memberikan gunting, perban, dan alat-alat kesehatan kepada dukun untuk membantunya melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Namun, mereka tidak mendengarkan dan masih saja memotong ari-ari dengan sebilah bambu. Inilah yang menyebabkan infeksi dan karenanya banyak bayi yang kemudian meninggal

          Penolakan publik terhadap cara pengobatan Jawa tersebut tidak tercermin dalam lingkup hidup tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan sering meminta tukang pijat untuk memijat mereka pada fase awal masuk angin bilamana badan terasa lelah. Begitu pula staff Puskesmas perempuan umumnya dibantu oleh dukun bayi ketika melahirkan anak-anak mereka. Bahkan para bidan yang seringkali menunjukkan sikap bermusuhan pada kolega tradisionalnya, ternyata dalam percakapan informal mengatakan bahwa mereka juga pernah memanfaatkan pelayanan dukun bayi, kerokan dan dengan jamu serta ramuan-ramuan yang juga cukup popular diantara tenaga kesehatan, hingga 85% diantara mereka menggunakannya. Hal ini terlihat tidak sinkron jika melihat cara mereka yang berkebalikan dengan yang mereka ucapkan selama ini

          Di lingkup formal, tenaga kesehatan menolak segala jenis pengobatan tradisional. Namun secara pribadi, mereka biasa memanfaatkannya. Misalnya pengobatan Jawa tradisional, secara ideologis tidak dapat diterima oleh model konseptual biomedis. Namun, secara faktual tenaga kesehatan menggunakannya. Maka dari itu, untuk konflik di dalam dirinya yang tidak sesuai, para tenaga kesehatan memilih bersikap dualisme dengan membagi loyalitas antara tradisi-tradisi pengobatan yang berbeda sesuai dengan lngkungan sosial dimana mereka berada. Jadi secara tidak langsung mengakui manfaat dari keberadaan pengobatan tradisional di sekitar mereka (more…)

DOWNLOAD selengkapnya <versi 1> dan <versi 2>

SUNTIK YA ?

          Sebuah penelitian di Puskesmas Salam Jawa Tengah, pada tanggal 10 Nopember 1990 pukul 09.00 WIB.

PERMASALAHAN

          Adapun permasalahan yang Puskesmas Salam Jawa Tengah ini, sebagai berikut :

1. Pengobatan secara suntik merupakan pengobatan utama di puskesmas ini, meskipun pada dasarnya penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan pengobatan secara oral.

2. Pemberian pengobatan secara suntikan menyebabkan variasi obat di puskesmas ini rendah. Hanya ada 5 variasi obat.

3. Puskesmas juga mengalami kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan suntikan. Selain itu, vitamin yang digunakan merupakan vitamin dengan harga yang murah.

4. Dalam melakukan pengobatan, di puskesmas ini jarang dilakukan pemeriksaan fisik, anamnesis, pemberian informasi mengenai penyakit pasien, tidak ada penyampaian diagnosis dan alokasi waktu untuk menjawab pertanyaan pasien.

5. Untuk menekan dana tersebut, maka 1 buah suntikan digunakan untuk 10-15 pasien. Pemberian suntikan bergantian juga terjadi pada saat mengobati PSK (Pekerja Seks Komersial) yang mengalami PMS (Penyakit Menular Seksual).

6. Kepopuleran pengobatan suntik ini dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti :

a) Kesuksesan dalam mengobati beri-beri dan kala azar.

b) Kepercayaan masyarakat bahwa kesembuhan dapat diperoleh setelah menderita terlebih dahulu.

c) Pelayan kesehatan akan mendapat pengakuan sosial sebagai wakil sah dari pengobatan biomedis jika sering memberikan pengobatan secara suntik kepada pasiennya.

d) Kepercayaan dari sisi tenaga kesehatan (pelayan kesehatan) bahwa obat dapat mencapai sasaran dengan cepat melalui suntikan. Bahkan, pada saat seorang perawat lupa membawa alat suntik pada saat akan mengobati pasien, maka perawat tersebut akan mencubit pantat pasien seolah-olah disuntik dan tindakan ini dilakukan atas permintaan pasien.

e) Kepercayaan bahwa pengobatan secara suntik merupakan pengobatan yang paling esensial merupakan kepercayaan turun-temurun. Namun, saat ini generasi muda dan ibu-ibu yang memiliki balita sering melakukan penolakan terhadap pengobatan suntik. Hal ini secara dominan disebabkan oleh ketakutan akibat adanya reaksi alergi dan demam tinggi pada balita setelah disuntik sehingga ibu menjadi panik.

f) Keberatan pasien bukan berarti pasien akan menolak untuk disuntik sebab sebagai pasien diharapkan mengikuti segala perintah dari ahli medis dan merupakan suatu tindakan yang tidak pantas dan tidak sopan bagi masyarakat desa dengan strata ekonomi lebih rendah untuk menolak anjuran orang dengan status sosial lebih tinggi (perawat).

7. Kepercayaan bahwa suntikan merupakan pengobatan yang manjur dan membawa keselamatan. Pemberian suntikan dianggap sebagai tugas paling esensial bagi tenaga kesehatan kepada pasien dan tenaga kesehatan berpikir bahwa pasien akan menerimanya.

more (…..) <DOWNLOAD> selengkapnya

PROGRAM KB : DEMI KESEHATAN PEREMPUAN ?

          Program KB secara formal merupakan wewenang BKKBN. Badan ini mengkoordinir seluruh upaya pengendalian fertilitas melalui sebuah system yang hirarkis dan mengikuti struktur administrasi negara. Dalam system pertanggungjawaban bertingkat ini, segala keputusan berada di tangan BKKBN Pusat dan ditindaklanjuti pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten untuk diimplementasikan di masyarakat. Lebih khusus lagi, realisasi program dipercayakan kepada petugas BKKBN di tingkat kecamatan, yaitu Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan pengawasnya yang disebut Pimpinan PLKB atau PPLKB. Mereka ditugasi untuk merealisasikan program KB dengan mengarahkan perilaku fertilitas masyarakat agar memenuhi target kebijakan nasional. Untuk mencapai tujuan ini para PLKB harus bekerja sama dengan institusi-institusi lain di tingkat kecamatan, sekaligus mencari dukungan dari berbagai organisasi yang bergerak di tingkat lokal.

          Kerja sama antara tim PLKB dan tenaga puskesmas merupakan syarat utama untuk merealisasikan program KB. Di dalam pembagian kerja di antara PLKB dan staf puskesmas meliputi petugas PLKB merekrut akseptor-akseptor dan meberikan penyuluhan kepada mereka, sedangkan tenaga puskesmas memberikan bantuan medis. Meskipun terdapat kebijakan bahwa puskesmas juga bertugas melaksanakan program pendidikan KB, tetapi dalam prakteknya kegiatan ini jarang dilakukan dan puskesmas hanya berfungsi dalam melakukan semua tindakan teknis-medis.

          PLKB mempunyai satu tujuan yaitu mengimplementasikan program KB dan pencapaian target akseptor menjadi lebih penting dibanding tujuan umum posyandu yaitu meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Di sisi lain, tenaga puskesmas lebih peduli terhadap kesehatan anak dan ibu hamil serta program KB hanyalah salah satu dari 17 program yang harus dilaksanakan dan belum tentu menduduki proiritas utama disbanding kegiatan yang lain. Akan tetapi, oleh karena staf puskesmas disubordinasikan pada PLKB dalam menerapkan program KB maka mereka harus mengikuti kemauannya meskipun seringkali hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan kesehatan umum harus disisihkan. Akibatnya implementasi program Keluarga Berencana lebih memprioritaskan pencapaian target kependudukan daripada memprioritaskan kesehatan perempuan. Tenaga puskesmas merasa tidak bebas dalam mengatur dan menjalankan tugasnya serta merasa ditekan agar mengesampingkan kepeduliannya terhadap kondisi kesehatan ibu demi kepentingan tim PLKB yang berusaha meningkatkan jumlah akseptor.

          Inti permasalahan di atas terjadi pada level community di mana terjadi permasalahan yang melibatkan 2 organisasi yaitu PLKB dan puskesmas. Teori yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan perilaku berdasarkan leverl sasaran community ini adalah Organizational Change Theories dan Community Mobilization Theories. Namun, dalam permasalahan ini lebih diprioritaskan pada teori yang pertama, yaitu Organizational Change Theories. Hal ini didasarkan pada kurang adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar organisasi-organisasi dalam merealisasikan program KB

more (……) <DOWNLOAD> selengkapnya

PERSPEKTIF GENDER DALAM PROGRAM-PROGRAM KESEHATAN REPRODUKSI : SEBUAH TANTANGAN

          Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya Konferensi Kependudukan Dunia (ICPD) di Cairo pada tahun 1994 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), membahas kompleksitas hubungan antara kebutuhan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan serta kebijakan kependudukan an pembangunan pada tingkat global. Dari sini, ditemukan adanya paradigma baru tentang kesehatan reproduksi yang memberikan perhatian pada subordinasi perempuan dan bertujuan meningkatkan status perempuan agar pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.

          Pada makalah ini ada beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia untuk menguak permasalahan kesehatan reproduksi perempuan dan mencoba mencari solusinya. Pengalaman di Indonesia menyebutkan bahwa perempuan tidak mudah menuntut hak-hak seksual dan reproduksi dalam lingkup rumah tangga apabila mereka tidak memiliki kekuasaan dalam lingkup social yang luas. Salah satu contoh adalah budaya patriarki Batak di Sumatera Utara, dimana perempuan sangat tersubordinasi pada laki-laki. Bahkan ketika pengambilan keputusan apakah perempuan tersebut menginginkan untuk melakukan hubungan seks, memakai pengaman (kondom) untuk mencegah penularan PMS serta AIDS, perempuan Indonesia cenderung tidak berani mengkomunikasikannya dengan sang suami. Sehingga upaya apapun untuk memberikan tambahan pengetahuan mereka terkait dengan penyebaran PMS dan AIDS akan termentahkan karena perempuan tersebut tidak mampu menyampaikannya pada suami.

          Seringkali program-program kesehatan reproduksi tersebut dianggap bertentangan dengan kajian teologis. Padahal, jika mau mengkaji lebih jauh dalam ajaran Islam, bahwa perempuan sangat dihargai dan dilindungi dalam setiap hukumyang diterapkan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (pernikahan). Akhirnya para perempuan ini meminta LSM yang memberikan mereka penyuluhan, juga memberikan pengertian pada suami mereka, dengan pertimbangan bahwa tetap saja pengambil keputusan dalm keluarga ada pada suami mereka.

          Namun, di lain pihak banyak yang memperdebatkan bahwa mengubah hubungan jender pada tingkat rumah tangga, khususnya mengenai persoalan hubungan seks jauh lebih sulit dibandingkan mengubah hubungan jender pada tingkat masyarakat. atau bisa jadi program kesehatan reproduksi yang menitikberatkan pada perempuan gagal karena kurangnya perhatian pada pihak laki-laki yang dianggap sebagai penentu kebijakan dalam keluarga.

          Kemudian sasaran program diubah. Yaitu dengan pengenalan alat kontrasepsi pada laki-laki (kondom dan vasektomi) yang telah dirintis sejak 1970-an. Partisipasi laki-laki diharapkan dapat mendukung program kesehatan reproduksi keluarga. Ini dianggap sebagai kunci keberhasilan progam tersebut, karena ada anggapan bahwa sebenarnya untuk mensukseskan program ini, perempuan tidak perlu dilibatkan banyak, karena laki-laki disini masih memegang keputusan, apakah program ini dapat dilakukan dalam keluarga mereka. Sehingga program dialihkan focus pada kaum laki-laki.

          Ternyata dibalik ide besar itu, kita dihadapkan lagi dengan problem, bahwa program tersebut justru memperkuat ketidaksetaraan jender. Dimana para istri menjadi sangat tidak diliatkan dalam pengambilaj keputusan terkait dengan masalah reproduksi. Para perempuan justru menjadi cemas, karena mengkhawatirkan suaminya akan menyeleweng ketika mereka berada di luar rumah, karena merasa ‘aman’ dari penyebaran PMS dan AIDS. Dua hal yang bertentangan namun dapat terjadi beriringan. Seperti dua koin yang memiliki satu sisi baik dan sisi yang lainnya buruk. (more……)

DOWNLOAD selengkapnya <versi 1> dan <versi 2>

HEALTH BELIEF MODEL SEBAGAI ALAT MELAKUKAN PERUBAHAN PERILAKU PADA LEVEL INDIVIDU

          Teori Health Belief Model didasarkan pada pemahaman bahwa seseorang akan mengambil tindakan yang akan berhubungan dengan kesehatan. Teori ini dituangkan dalam lima segi pemikiran dalam diri individu,yang mempengaruhi upaya yang ada dalam diri individu untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya, yaitu perceived susceptibility (kerentanan yang dirasakan/ diketahui), perceived severity (bahaya/ kesakitan yang dirasakan), perceived benefit of action (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil), perceived barrier to action (hambatan yang dirasakan akan tindakan yang diambil), cues to action (isyarat untuk melakukan tindakan). Hal tersebut dilakukan dengan tujuan self efficacy atau upaya diri sendiri untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.

          Tiga faktor penting dalam Health Belief Model, yaitu :

1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.

2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku.

3. Perilaku itu sendiri.

          Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit, adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku dapat memberikan keuntungan, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman mencoba perilaku yang serupa.

          Dalam kasus yang terjadi di Jawa Tengah sesuai penelitian yang dilakukan dari bulan Agustus 1989 sampai Oktober 1990 di Salam Kabupaten Magelang. Permasalahan terjadi antara pasien dan tenaga kesehatan di PUSKESMAS. Adanya hambatan dalam komunikasi, mitos yang berkembang di masyarakat, dan masalah financial.

Sesuai dengan teori health belief model

1. Perceived susceptibility:

masyarakat beranggapan jika mereka tidak disuntik mudah tertular penyakit. Selain itu mereka juga mengetahui efek samping dari suntik yaitu demam (biasanya pada anak-anak)

2. Perceived severity:

mereka tidak suntik maka mereka tidak akan sembuh

3. Perceived benefit of action :

masyarakat paham bahwa jika mereka disuntik maka akan sembuh

4. Perceived barrier to action :

Masyarakat percaya bahwa seseorang harus menderita terlebih dahulu untuk sembuh

5. Cues to action :

Pasien sudah mengerti kebiasaan seperti apa yang harus mereka lakukan saat berobat ke puskesmas, yaitu setelah memberikan keluhan yang dirasakan saat itu, dokter memberikan pertanyan sugestif “suntik, ya?”, dengan spontan pasien akan berbaring dan membuka celananya siap untuk disuntik.

more (……) <DOWNLOAD> selengkapnya